Senin, 06 Januari 2014

faktor faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca



Banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca, baik membaca permasalahan maupun membaca lanjut (membaca pemahaman). Faktor-faktor yang mempengaruhi membaca menurut Lamb dan Arnol (Rahim Farida 2007: 6) ada 3 (tiga) yaitu; “ a)  Faktor  psikologi, b) faktor intelektual, dan c) faktor lingkungan ‘’. Ketiga pendapat tersebut dapat diuraikan sebagi berikut :  
a.       Faktor Fisiologis
Mencakup kesehatan fisik, pertimbangan neurologis, dan jenis kelamin. Beberapa ahli mengemukakan bahwa keterbelakangan neurologis (misalnya berbagai cacat otak) dan kekurangan matang secara fisik merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan anak gagal dalam meningkatkan kemampuan membaca pemahaman mereka.
b.      Faktor Intelektual
Istilah intelegensi didefinisikan sebagai suatu kegiatan berfikir yang terdiri dari pemahaman yang esensial tentang situasi yang diberikan dan meresponnya secara tepat. Secara umum ada hubungan antara kecerdasan yang diindikasikan  oleh IQ dengan rata-rata peningkatan remedial membaca. Tingkatan intelegensi membaca itu sendiri pada hakikatnya proses berfikir dan memecahkan masalah. Dua orang yang berbeda IQnya sudah pasti akan berbeda hasil dan kemampuan membacanya.
c.       Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan ikut mempengaruhi kemajuan kemampuan membaca murid. Faktor lingkungan tersebut ialah:
1.        Latar belakang dan pengalaman anak dirumah
Lingkungan dapat membentuk pribadi, sikap, nilai dan kemampuan bahasa anak. Kondisi dirumah mempengaruhi pribadi dan penyesuain diri anak dalam masyarakat. Kondisi itu pada gilirannya dapat membentuk anak, dan dapat juga menghalangi anak belajar membaca. Anak yang tinggal didalam rumah tangga yang harmonis, rumah yang penuh cinta kasih, tidak akan menemukan kendala yang berarti dalam membaca. Kualitas dan luasnya pengalaman anak dirumah juga penting bagi kemajuan belajar membaca. Membaca seharusnya merupakan suatu kegiatan yang bermakna, pengalaman masa lalu anak-anak memungkinkan anak-anak untuk lebih memahami apa yang mereka baca.
2.      Faktor sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi, orang tua, dan lingkungan tetangga merupakan faktor yang membentuk lingkungan rumah murid. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa status sosial ekonomi murid mempengaruhi kemampuan verbal murid. Semakin tinggi status sosial ekonomi murid semakin tinggi kemampuan verbal murid. Anak-anak yang mendapat contoh bahasa yang baik dari orang dewasa serta orang tua yang berbicara dan mendorong anak-anak mereka berbicaraakan mendukung perkembangan bahasa dan intelegensi anak.
3.        Faktor Psikologis
Faktor lain yang juga mempengaruhi kemajuan kemampuan membaca anak adalah faktor psikologis. Faktor ini mencakup:
a)      Motivasi
Menurut Winkel (Http://episentrum.com/2010/Motivasi membaca/diakses 29 Agustus 2010) mengatakan bahwa “motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri murid yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan belajar dan memberikan arahan kepada kegiatan belajar itu demi mencapai tujuan”. Sedangkan Gape dan Berliner (Http:/episentrum.com/2010/diakses, 29 Agustus 2010) menjelaskan bahwa “motivasi adalah sesuatu yang menggerakkan individu dari perasaan bosan menjadi berminat untuk melakukan sesuatu”.
Murid akan menguasai hasil belajar dengan optimal, jika dalam belajar dimungkinkan untuk sebanyak mungkin berinteraksi dengan isi teks pelajaran. Untuk pelajaran membaca indra yang paling dominan digunakan ialah indra penglihatan dan pendengaran, membaca dan menyimak cerita yang dibacakan.
b)      Minat
Minat baca ialah keinginan yang kuat disertai usaha-usaha seseorang untuk membaca. Orang yang mempunyai minat membaca yang kuat akan diwujudkan dalam kesehariaannya untuk mendapatkan bahan bacaan dan kemudian membaca atas kesadarannya sendiri.
   Frymeir (Rahim 2007: 28) mengidentifikasikan enam  faktor yang mempengaruhi perkembangan minat anak. Faktor-faktor itu adalah:
(1) Pengalaman sebelumnya; murid tidak akan mengembangkan minatnya terhadap sesuatu jika mereka belum pernah mengalaminya (2) Konsepsinya tentang diri; murid akan menolak informasi yang dirasa mengancamnya, sebaliknya murid akan menerima jika informasi itu dipandang berguna dan membantu meningkatkan dirinya (3) Nilai-nilai; minat murid timbul jika sebuah mata pelajaran disajikan oleh orang yang berwibawa (4) Mata pelajaran yang bermakna; informasi yang mudah dipahami oleh anak akan menarik minat mereka (5) Tingkatan keterlibatan tekanan; jika murid merasa dirinya mempunyai beberapa tingkatan pilihan dan kurang tekanan, minat membaca mereka mungkin akan lebih tinggi (6) Kompleksitas materi pelajaran; murid yang lebih mampu secara intelektual dan pleksibel secara psikologis lebih tertarik kepada hal yang lebih kompleks.
Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang guru harus berusaha memotivasi muridnya. Murid yang mempunyai motivasi yang tinggi terhadap membaca akan mempunyai minat yang tinggi pula terhadap kegiatan membaca.
c)      Kematangan sosio dan emosi serta penyesuaian diri
Menurut (Rahim Farida 2007:  29) bahwa, “Ada tiga aspek kematangan emosi dan sosio, yaitu (1) stabilitas emosi, (2) kepercayaan diri, dan (3) kemampuan berpatisipasi kelompok”. Seorang murid harus mempunyai pengontrolan emosi pada tingkat tertentu. Anak-anak yang mudah marah, menangis dan bereaksi secara berlebihan ketika mereka tidak mendapatkan sesuatu atau menarik diri, atau mendongkol akan mendapat kesulitan dalam pelajaran membaca. Sebaliknya anak-anak yang lebih mudah mengontrol emosinya, akan lebih mudah memusatkan perhatiannya pada teks yang dibacanya. Pemusatan perhatian pada bahan bacaan memungkinkan kemajuan kemampuan anak-anak dalam memahami bacaan akan meningkat.

TUT WURI HANDAYANI

Makna Semboyan Tut wuri handayani NasionalSemboyantut wuri handayani Sikin yolan 10 Oct '10 90 Makna dan arti Tut Wuri Handayani – Ing Ngarso Sun Tulodo – Ing Madyo Mangun Karso, Terdiri dari 3 kalimat ungkapan atau slogan yang dibut oleh bapak pendidikan kita sekaligus Pahlawan nasional Ki Hajar Dewantara. Kalimat ini sering kita dengar pada waktu sekolah atau bisa dilihat pada sebuah gambar/logo Tut wuri Handayani. Meski kalimat ini terlihat sederhana sebenarnya tersimpan makna mendalam sebagai sebuah ungkapan penting dari sebuah keteladanan bagi seorang pendidik atau pemimpin baik moral maupun semangat bagi anak didiknya. 1 Logo Tut Wuri Handayani Warna Makna Semboyan Tut wuri handayani Semboyan “Tut wuri handayani”, atau aslinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik). Sehingga Tercipta kalimat : Di Depan, Seorang Pendidik harus memberi Teladan atau Contoh Tindakan Yang Baik, Di tengah atau di antara Murid, Guru harus menciptakan prakarsa dan ide, Dari belakang Seorang Guru harus Memberikan dorongan dan Arahan. Ki Hadjar Dewantara

Read more at http://uniqpost.com/7525/makna-semboyan-tut-wuri-handayani/
Makna Semboyan Tut wuri handayani NasionalSemboyantut wuri handayani Sikin yolan 10 Oct '10 90 Makna dan arti Tut Wuri Handayani – Ing Ngarso Sun Tulodo – Ing Madyo Mangun Karso, Terdiri dari 3 kalimat ungkapan atau slogan yang dibut oleh bapak pendidikan kita sekaligus Pahlawan nasional Ki Hajar Dewantara. Kalimat ini sering kita dengar pada waktu sekolah atau bisa dilihat pada sebuah gambar/logo Tut wuri Handayani. Meski kalimat ini terlihat sederhana sebenarnya tersimpan makna mendalam sebagai sebuah ungkapan penting dari sebuah keteladanan bagi seorang pendidik atau pemimpin baik moral maupun semangat bagi anak didiknya. 1 Logo Tut Wuri Handayani Warna Makna Semboyan Tut wuri handayani Semboyan “Tut wuri handayani”, atau aslinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik). Sehingga Tercipta kalimat : Di Depan, Seorang Pendidik harus memberi Teladan atau Contoh Tindakan Yang Baik, Di tengah atau di antara Murid, Guru harus menciptakan prakarsa dan ide, Dari belakang Seorang Guru harus Memberikan dorongan dan Arahan. Ki Hadjar Dewantara

Read more at http://uniqpost.com/7525/makna-semboyan-tut-wuri-handayani/
Makna Semboyan Tut wuri handayani NasionalSemboyantut wuri handayani Sikin yolan 10 Oct '10 90 Makna dan arti Tut Wuri Handayani – Ing Ngarso Sun Tulodo – Ing Madyo Mangun Karso, Terdiri dari 3 kalimat ungkapan atau slogan yang dibut oleh bapak pendidikan kita sekaligus Pahlawan nasional Ki Hajar Dewantara. Kalimat ini sering kita dengar pada waktu sekolah atau bisa dilihat pada sebuah gambar/logo Tut wuri Handayani. Meski kalimat ini terlihat sederhana sebenarnya tersimpan makna mendalam sebagai sebuah ungkapan penting dari sebuah keteladanan bagi seorang pendidik atau pemimpin baik moral maupun semangat bagi anak didiknya. 1 Logo Tut Wuri Handayani Warna Makna Semboyan Tut wuri handayani Semboyan “Tut wuri handayani”, atau aslinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik). Sehingga Tercipta kalimat : Di Depan, Seorang Pendidik harus memberi Teladan atau Contoh Tindakan Yang Baik, Di tengah atau di antara Murid, Guru harus menciptakan prakarsa dan ide, Dari belakang Seorang Guru harus Memberikan dorongan dan Arahan. Ki Hadjar Dewantara

Read more at http://uniqpost.com/7525/makna-semboyan-tut-wuri-handayani/

kesejaterahan masyarakat indonesia

Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Indonesia


Tahun demi tahun, pemerintahan telah silih berganti, namun pertanyaan yang patut terlontarkan, sudah sejahterakah rakyat di negeri ini? Pertanyaan tersebut patut dikemukakan sebab hampir di setiap rezim pemerintahan, jargon kesejahteraan selalu diusungnya. Bahkan hal tersebut selalu digunakan untuk membius pikiran dan keinginan rakyat agar selaras dengan kemauan pemerintah.
Bagi pemerintah ketika pertanyaan tersebut terlontar mungkin akan menjawab sudah, namun bagi sebagian masyarakat akan menjawab belum. Lalu apa sebenarnya parameter atau indikator kesejahteraan. Banyak teori untuk menilai kesejahteraan rakyat, salah satunya adalah Indeks pembangunan masyarakat (IPM), atau indeks kesejahteraan masyarakat (human development indeks). Berkaitan dengan IPM ini UNDP di bawah bendera PBB mencantumkan tiga indikator yaitu pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat. Artinya tinggi rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat, tergantung pada tiga hal ini, bila sebagian besar sudah terpenuhi ketiganya berarti tingkat kesejahteraan di negara tersebut cukup tinggi.
Pada awalnya untuk menilai tingkat kesejahteraan masyarakat menggunkana indikator GNP (grost nasional product) dan indikator lain yang selaras seperti tingkat inflasi, pengangguran, investasi, tingkat pembelanjaan pemerintah, tingkat konsumsi dan posisi neraca perdagangan. Teori ini dipresentasikan oleh John Mayard Keynes dan diterima PBB sebagai alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat sebuah negara. Namun beberapa tahun belakang indikator tersebut mulai ditinggalkan. UNDP mulai menggunakan indikator lain dalam menilai tingkat kesejahteraan rakyat sebuah negara, seorang pakar ekonomi Pakistan, Mahbub ul haq mulai mengembangkan konsep baru. Beliau mengoreksi cara mengukur tingkat kesejahteraan dengan GNP. Tingginya angka GNP tingginya tingkat kesejahteraan rakyat tidak dapat diterima begitu saja. Sebab angka GNP adalah angka rata-rata. Sementara rata-rata bermakna bahwa masyarakat dapat mengakses kehidupan dengan rata dan mempunyai pendapatan yang rata juga, padahal tidak demikian.
Gambaran mudahnya, dengan masuknya beberapa konglomerat kaya ke suatu negara secara otomatis mendongkrak angka GNP padahal dibalik itu banyak rakyat yang dalam keadaan kekurangan. Sehingga Amartya sen, ekonom kelahiran India, penerima Nobel ekonomi pernah mengatakan kemiskinan tidak selalu identik dengan kekurangan pangan namun dapat saja karena kurang adanya pemerataan, disinilah beliau menekankan pentingnya distribusi.
Berpijak dari sanalah dikembangkan indikator kesejahteraan lain, yaitu indeks pembanguna masyarakat. Sementara itu hal selaras yang saat ini masih menjadi perbincangan hangat yaitu adanya keinginan sebagian masyarakat yang ingin memasukkan variabel moral, dan tingkat partisipasi masyarakat dalam politik ke dalam indikator IPM. Pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat hanya mengukur kesejahteraan fisik saja sementara non fisiknya belum terukur maka perlu memasukkan variabel tersebut, bahkan akhir akhir ini, indeks demokrasi, perlakuan jender masuk dalam pengukuran IPM. Bila dilihat dengan tiga indikator yang sudah fixed tersebut, bagaimanakah kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia saat ini?

Pendidikan


Cara melihat tingkat pendidikan suatu negara minimal dengan dua indikator yaitu angka melek huruf dan lama melanjutkan pendidikan. Saat ini terlihat di tiga wilayah saja angka buta huruf masih tinggi, Jawa Tengah 15,2%, Jawa Timur 18,7% dan Jawa Barat 7,8% dari fakta ini terlihat masih banyak masyarakat yang belum memperoleh akses pendidikan. Hal ini juga mencerminkan kualitas masyarakat Indonesia masih rendah sehingga tidak aneh bila dibandingkan dengan negara lain pendidikan Indonesia di posisi belakang.

Dari 79 perguruan tinggi yang tercatat di Asia, UGM yang merupakan ikon perguruan tinggi ternama di Indonesia menduduki peringkat ke-67, UI 70, UNDIP 77 dan UNAIR paling bawah 79. Peringkat ini dilihat dari reputasi akademik, SDM/dosen, hasil karya riset, sumber dana, gaji dosen, rasio mahasiswa tiap dosen, publikasi jurnal internasional dan kepadatan bandwith komputernya. Sementara itu yang bercokol diperingkat atas adalah Universitas Tohuku (Tahuku University) Jepang. Universitas lain yang masih berada di peringkat atas, ranking 10 Melbourn University, ranking 23 Waseda University Jepang, ranking 27 universitas Malaya Malaysia, ranking 32 philipines University, ranking 39 Mahidong University Thailand dan ranking 45 University of Delhi India.
Lain universitas lain pula institut sain dan teknologi, di antara 35 institut yang di survey ikon institut ternama di Indonesia, yaitu ITB berada diurutan 15, masih mendingan karena mampu melampui 20 institut ternama lain yang tersebar di beberapa negara di Asia. Namun yang mengejutkan urutan 4, 5, 6, dan 7 di borong India, sementara itu ranking satu berada di bawah Bendera Korea Advanced science and teknology Institut. (Jawapos, 14 Desember 2004)

Kesehatan


Tingkat kesehatan rakyat sebuah negara dapat dilihat dari angka umur harapan hidup (UHH). Tahun 2000 UHH rakyat Indonesia 65,6 tahun semnatar itu tahun berikutnya 2001 naik menjadi 65,8, ini mencerminkan tingkat kesehatan masyarakat mengalami perbaikan. Namun secara internasional UHH rakyat Indonesia masih rendah. Pada tahun yang sama UHH rakyat Thailand 69,9 tahun, Malaysia 72,2 tahun, Singapura 77,4 tahun dan Jepang 80,8 tahun. Mengapa UHH indonesia rendah yang berarti tingkat kesehatannya belum baik, hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain rendahnya akses pelayanan kesehatan, rendahnya akses air bersih, rendahnya gizi balita, mewabahnya penyakit menular dan lambannya penanganan kematian ibu melahirkan.

Daya beli masyarakat


Pendapatan perkapita masyarakat mengalami fluktuasi, tahun 1996 pengeluaran perkapita Rp. 587, 4 juta rupiah, tahun 1999 mengalami penurunan sehingga besarnya cuma Rp. 578,8 juta hal ini disebabkan oleh badai krisis yang saat itu melanda negara-negara Asia termasuk Indonesia, namun selang 3 tahun kemudian pengeluaran perkapita merayap naik sehingga tahun 2002 besarnya pengeluaran perkapita mencapai Rp. 591,2 juta. Perbaikan ekonomi yang saat ini sudah mulai membaik, ternyata membias pada aset penjualan PT Astra Internasional, dalam enam bulan terakhir di tahun 2004 khusus di Jawa Barat saja mobil yang terjual 1712 unit, terdiri dari Minibus dan Pick Up terjual 594 unit, Taruna 162 unit, Ceria 42 unit dan primadona baru Xenia 914 unit.
Daya beli sebagian masyarakat meningkat.meskipun mayoritas mengalami penurunan dan berdasar angka statistik pemerintah pada survey tahun lalu, 19 persen masyarakat Indonesia miskin. Dari 211 juta penduduk Indonesia tahun 2003, sekitar 6-8 juta (3-4%) penduduk masuk kategori kaya, minimal memiliki aset 4 juta dollar AS atau sekitar Rp 32,2 milliar. Sementara itu sekitar 21 juta (10%) jumlah penduduk Indonesia tergolong setengah kaya dengan aset 500 000 dollasr AS atau sekitar Rp 4 milliar.
Jumlah kelas menengah Indonesia sekitar 32 juta (15%) dengan pendapatan minimal Rp3,5 juta sebulan. Kelas inilah yang meramaikan mall, supermarket, restoran, shoping center dan lain sebagainya. Kemudian kelompok berikutnya masyarakat dengan pendapatan Rp 800.000 – 1.000.000 mencapai 50 juta (40%) terdiri dari petani dan pekerja. Mereka yang bermukim di perkotaan dari kelompok ini sesekali mengunjungi mal dan supermarket. Dan mereka yang memiliki konsumsi minimal mencapai sekitar 110 juta. Di luar itu mereka hanya hidup pas-pasan dan berada dibawah garis kemiskinan yang jumlahnya jutaan. (Investor edisi 93, Januari 2004)

PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

A. Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :
- Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
- Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu :
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.

FKIP BAHASA INDONESIA

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia merupakan salah satu Program Studi yang berada di lingkungan FKIP, Universitas Bina Darma. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia telah mendapatkan  perpajangan izin dengan Nomor 8272/D/T/K-II/2011.
  Visi dan misi Program Studi telah dirumuskan dengan merujuk kepada visi dan misi Fakultas serta Universitas. Hal ini dapat dilihat dari gambaran kurikulum yang dirancang sesuai dengan visi dan misi serta tujuan dan sasaran yang terwakili dalam mata kuliah yang diajarkan di Program Studi. Dengan demikian,diharapkan ada konsistensi antara visi, misi, tujuan, dan sasaran dengan hasil yang akan dicapai oleh Program Studi, Fakultas, dan  Universitas.
Keberhasilan suatu Program Studi sangat didukung oleh tenaga dosen yang dimiliki oleh Program Studi tersebut. Untuk Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, seluruh mata kuliah dalam cabang ilmu pendidikan bahasa Indonesia diasuh oleh dosen tetap dan dosen tidak tetap yang berkompetensi sesuai dengan mata kuliah tersebut.  Untuk mata kuliah yang tidak dalam cabang ilmu bahasa Indonesia, seperti agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa Inggris, dan komputer diasuh oleh dosen tetap Bina Darma dan dosen tidak tetap yang berkompetensi sesuai dengan mata kuliah tersebut. Untuk menambah kemampuan dan wawasan mahasiswa, selain kuliah reguler yang diasuh oleh dosen tetap dan dosen tidak tetap, diadakan juga kuliah umum dengan menghadirkan pakar dan praktisi di bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra, serta bidang jurnalistik untuk mendukung proses belajar mengajar.
Di samping adanya beberapa kekuatan seperti dikemukakan di atas, kurikulum mengacu dan dirancang sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dirjen Dikti.  Dengan beban sks antara 144 sks sampai 160 sks yang sudah memadai serta proporsional antara kurikulum lokal dengan kurikulum nasional.  Dalam kurikulum, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia memiliki Mata Kuliah Umum Dasar, Kependidikan, Proses Belajar Mengajar, dan Bidang Studi. Pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, semua mata kuliah memiliki SAP berdasarkan silabus. Di Universitas Bina Darma, SAP dinamakan Pedoman Pengajaran. Proses belajar dilakukan di dalam kelas ada juga beberapa mata kuliah yang mengharuskan untuk pratikum  di laboratorium komputer, di ELC (English Learning Centre). Pada dasarnya,  mata kuliah di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia  memiliki bahan ajar.  Universitas Bina Darma secara keseluruhan telah melakukan evaluasi dan monitoring secara menyeluruh kegiatan belajar dan mengajar serta kehadiran dosen  yang dilakukan oleh lembaga penjamin mutu Universitas Bina Darma. Dalam memberikan materi perkuliahan, dosen harus mengikuti pedoman pengajaran yang telah dibuat.

FKIP B.Indonesia BIDAR

Universitas BINA DARMA PALEMBANG memiliki RENCANA STRATEGIS PROGRAM STUDI BAHASA INDONESIA TAHUN 2008 – 2011


1.   Program     : Sosialisasi Program Studi Bahasa Indonesia
      Target        : Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia dapat diterima dan diakui masyarakat.
      Strategi      :
a.       Melakukan promosi Program Studi Bahasa Indonesia ke SMU / SMK di      Palembang dan di daerah Kabupaten.
b.      Mengadakan siaran promosi keunggulan Program Studi Bahasa Indonesia ke radio.
c.       Melaksanakan kegiatan ekstra dan intra kampus dengan melibatkan Unit Kegiatan Kampus (UKM).

2.   Program     : Meningkatkan Mutu Mahasiswa
Target        : Peningkatan IPK mahasiswa dari IPK rata-rata 2,75 menjadi 3,00 dan dapat diterima di dunia kerja.
Strategi      :
a.       Memperbanyak koleksi buku berdasarkan kurikulum Program Studi Bahasa Indonesia di perpustakaan.
b.      Meningkatkan metode pembelajaran salah satunya dengan menggunakan fasilitas E-Learning.
c.       Meningkatkan kualitas proses belajar mengajar diantaranya dengan menguasai SAP dengan materi perkuliahan, penyediaan bahan ajar, dan peningkatan mutu soal-soal ujian.

3.   Program     : Meningkatkan kinerja dan mutu dosen.
      Target        : Meningkatnya kualitas dan kuantitas penelitian dosen.
      Strategi      :
a.       Meningkatkan jumlah penelitian dosen.
b.      Mengikutsertakan secara aktif para dosen dalam kegiatan-kegiatan ilmiah seperti seminar, workshop, diskusi panel baik sebagai peserta maupun pemakalah.
c.       Memotivasi dosen untuk berperan aktif dalam penulisan di jurnal, prosiding, dan media-media ilmiah lain.

4.   Program     : Meningkatkan kualitas dan pemanfaatan pengabdian masyarakat.
Target        : Meningkatnya kualitas pengabdian masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Strategi      :
  1. Mengidentifikasi kebutuhan masyarakat desa binaan di lingkungan kampus.
  2. Melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan secara berkelanjutan.
  3. Mengevaluasi kegiatan pengabdian masyarakat agar tepat sasaran dan berhasil guna.

5.   Program        : Meningkatkan pelayanan akademik dengan steakholder
Target           : Meningkatnya pelayanan baik dari sisi akademik maupun administrasi sesuai dengan harapan steakhoder.
Strategi         :
a.       Mengadakan kegiatan yang meibatkan steakhoder seperti seminar, workshop, dan lomba-lomba.
b.      Bekerjasama dengan sekolah-sekolah dalam mata kuliah PPL dan membekali mahasiswa dengan pengetahuan tentang dunia pendidikan yang sesuian dengan situasi dan kondisi saat ini.

Senin, 16 Desember 2013

Universitas Bina Darma Palembang

Sejarah

Atas prakarsa Prof. Ir. H. Bochari Rachman, M.Sc. dan kawan-kawan pada tanggal 28 Desember 1993 didirikan Yayasan Bina Darma dengan Akta Notaris Alia Ghani, S.H. Nomor : 95. Kemudian tanggal 10 Maret 2001 terjadi perubahan pendiri Yayasan Bina Darma berdasarkan akta notaris Thamrin nomor : 6. Maksud dan tujuan didirikannya Yayasan ini antara lain untuk turut serta secara aktif membantu pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan cita-cita nasional dan turut serta membantu pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mengingat sarana dan prasarana yang disediakan oleh Yayasan sudah cukup memadai untuk menyelenggarakan suatu program pendidikan tinggi di Sumatera Selatan, maka didirikanlah 2 (dua) Sekolah Tinggi yaitu Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Bina Darma dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Bina Darma.
Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Bina Darma yang diasuh dan dibina oleh Yayasan Bina Darma berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud RI Nomor : 027/D/O/1994, tanggal 18 Mei 1994, STMIK Bina Darma mendapat status TERDAFTAR. Namun pada saat ini, STMIK Bina Darma telah mendapat status TERAKREDITASI untuk kedua program studi yang diselenggarakan, yaitu program studi Sistem Informasi (SI) dan program studi Teknik Informatika (TI) jenjang program strata satu (S1). Berdasarkan keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor : 038/BAN-PT/Ak-IV/I/2001 tanggal 25 Januari 2001.
Kemudian pada tahun 1995, berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Dikti Depdikbud Nomor : 488/DIKTI/Kep/1995, tanggal 29 Nopember 1995, STMIK Bina Darma mendapat status TERDAFTAR untuk program studi Manajemen Informatika dan Komputerisasi Akuntansi jenjang program Diploma I (D1). Pada tahun 1998, STMIK Bina Darma menambah lagi beberapa program studi berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Dikti Nomor : 083/D/O/1998 tanggal 4 Maret 1998 STMIK Bina Darma mendapat status TERDAFTAR untuk program studi Manajemen Informatika, Komputerisasi Akuntansi dan Teknik Komputer jenjang program Diploma Tiga (D.III). Pada saat ini, ketiga program studi tersebut sudah mendapat status TERAKREDITASI berdasarkan Surat Keputusan nomor : 001/BAN-PT/Ak-I/Dpl/III/2002 tanggal 8 Maret 2002.
Selain STMIK Bina Darma juga menyelenggarakan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Bina Darma berdasarkan SK. Mendikbud RI Nomor : 046/D/O/1994, tanggal 7 Juli 1994. Pada saat ini STIE Bina Darma telah mendapat status TERAKREDITASI untuk kedua program studi yang diselenggarakan, yaitu program studi Manajemen dan program studi Akuntansi jenjang program strata satu (S1) berdasarkan Surat Keputusan Badan Akreditasi Nasional Dirjen Dikti Nomor : 021/BAN-PT/Ak-IV/VIII/2000. Pada tahun 1998 berdasarkan surat keputusan Dirjen Dikti nomor : 127/DIKTI/Kep/1998 tahun 1998 dibuka program studi Manajemen Perusahaan dan Administrasi Bisnis jenjang program Diploma Tiga (D III) dengan status TERDAFTAR. Pada saat ini kedua program studi tersebut sudah mendapat status TERAKREDITASI berdasarkan Surat Keputusan Badan Akreditasi Nasional Dirjen Dikti nomor : 001/BAN-PT/AK-I/Dpl/III/2002.
Kemudian sejalan dengan berjalannya waktu, maka pada tanggal 30 April 2001 berdasarkan Akte Notaris Thamrin nomor : 36, Yayasan Bina Darma mengambil alih pengelolaan Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Graha Darma. Untuk itu Yayasan Bina Darma mengubah nama Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Graha Darma menjadi Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Bina Darma berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor : 143/D/0/2001 tanggal 27 Agustus 2001.
Pada perkembangan selanjutnya atas segala usaha dan prestasi semua unsur yang ada di ketiga Sekolah Tinggi yang berada dalam naungan Yayasan Bina Darma yaitu Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Bina Darma, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Bina Darma dan Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Bina Darma digabung menjadi Universitas berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor : 112/D/0/2002 tanggal 7 Juni 2002 tentang Penggabungan 3 (tiga) Sekolah Tinggi menjadi Universitas dan Penambahan Izin Penyelenggaraan Program Studi Baru yang diselenggarakan oleh Yayasan Bina Darma di Palembang. Berhubungan dengan itu maka untuk Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Bina Darma berubah menjadi Fakultas Ilmu Komputer, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Bina Darma berubah menjadi Fakultas Ekonomi, dan Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) berubah menjadi Fakultas Bahasa dan Sastra, dan ditambah dua Fakultas lagi yaitu Fakultas Teknik dengan program studi Teknik Sipil, Teknik Elektro, Teknologi Industri dan Teknik Hasil Pertanian jenjang studi strata satu (S1), dan Fakultas Psikologi dengan program studi Psikologi jenjang studi strata satu (S1).
Universitas Bina Darma adalah PTS yang mengasuh dan mengembangkan ilmu dan keahlian profesional pada 5 (lima) Fakultas dengan program studi unggulan tiap Fakultas yang berada di Sumatera Selatan. Universitas Bina Darma yang saat ini mengelola 5 (lima) Fakultas dengan 18 program studi, mempunyai komitmen untuk menciptakan lulusan yang siap kerja dan dapat diterima di masyarakat.
Tahun 2007 Universitas Bina Darma membenahi diri dengan mengubah Fakultas Bahasa dan Sastra menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dengan Program studi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Jadi Fakultas yang ada di Bina Darma sekarang ini adalah Fakultas Ilmu Komputer, Fakultas Ekonomi, Fakultas Teknik, Fakultas Psikologi, Fakultas Komunikasi dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Program Pendidikan dan Fakultas-Fakultas
Program Strata 2
1. Magister Manajemen (MM) 2. Magister Teknik Informatika (M.Kom)
Program Strata 1
Fakultas Ilmu Komunikasi Jurnalistik/Broadcasting, Public Relations, Advertising/Marketing Komunikasi
Fakultas Ilmu Komputer Teknik Informatik Sistem Informasi
Fakultas Ekonomi Manajemen Akuntansi
Fakultas Teknik Teknik Sipil Teknik Elektro Teknik Industri
Fakultas Ilmu Pendidikan Pendidikan Bahasa Indonesia Pendidikan Olah Raga
Fakultas Bahasa dan Sastra Bahasa Inggris
Fakultas Psikologi